Sejauh mana sih kita bisa tau perasaan orang lain?
***
“Dor!!” seseorang menepuk bahu Syra dari belakang.
“Kucing!!” latahnya Syra keluar tanpa bisa di stop.
Syra memutar badan ke arah punggungnya menghadap beberapa detik sebelumnya. Dan mendapati sesosok cowok tinggi berbalut kemeja kotak-kotak berwarna biru dan berjeans dengan warna yang sama sedang tersenyum menatap Syra yang masih rada shock. Yapz! Sosok kembaran tiang listrik itu bernama Scorpio Zaclyn. Terobsesi dipanggil Zac, soalnya selalu merasa mirip Zac Efron. (Pio, plis dech…nggak ada mirip-miripnya gitu lho!)
“Gila lo ya? Mau bikin gue mati berdiri?” Syra melototin sosok yang masih…aja majang tampang innocent itu.
“Ceila…gitu aja marah. Eh, by the way, ngapain lo ngelamun nggak jelas gitu?” Pio ngambil posisi duduk tepat di samping Syra.
“Kagak, cuma lagi mikir aja,” jawab Syra malas.
“Hah?!! Seorang Sagita Syra Afriza bisa berpikir? Serius lo?” tanya Pio sambil melotot.
Syra ngelirik ke arah Pio, menusuk matanya dengan tatapan setajam mata elang. Pio nyengir kuda.
“Kayaknya ada yang serius nih? Ada apa sih, Ra?” Pio bertanya lagi.
“Ah, kagak…gue cuma lagi kepikiran Virgo.”
Eh, mau tau siapa Virgo?
Ok, sekilas info tentang Virgo.
Nama > Virgo Leonard
Tempat/Tanggal lahir > Bandung, 26 April 1992
Hobby > Travelling & nulis hal-hal yang braliran sesat
Cita-cita > Lawyer
Makanan Fav > Coklat
Minuman Fav > Yoghurt
Warna Fav > Blue n Black
Buku Fav > Travellers Tale: Belok Kanan Barcelona
Ya oke lah…Nggak penting juga kali ya?
Jelasnya, Virgo itu cowok Syra.
“Kepikiran Virgo? Emang Virgo kenapa? Lo lagi ada masalah sama dia?” Pio mulai serius.
“Mmm…nggak, kadang gue mikir aja, Virgo bahagia nggak sih punya cewek kayak gue?”
“Hah??!! Lo baru mempertanyakan itu sekarang? Setelah 3 tahun pacaran sama dia?” Pio terlihat kaget.
“Ah…lebay lo!” Syra dorong pundak Pio menjauh dari sampingnya.
“Syra sayang…kenapa lo tiba-tiba mikir gitu sih? Lo juga pasti tau jawaban dari pertanyaan lo itu.”
“Gue…” Syra tampak ragu.
“Ok…sekarang lo cerita deh sama gue…Pasti ada hal-hal yang bikin lo kayak gini.”
Syra diam. Sampai pada akhirnya ia bercerita.
“Suatu hari, gue jalan-jalan ke Ciwalk sendirian. Di sana, gue liat bermacam manusia. Dan di sana juga, gue liat banyak pasangan. Ya, cowok dan cewek yang jalan berduaan. Kebanyakan dari mereka terlihat mesra dengan pasangannya masing-masing. Ada yang suap-suapan di food court, ada yang bercanda mesra di bangku taman depan mall, ada yang pegangan tangan mesra, pokoknya macem-macem deh. Tapi satu persamaan yang gue liat dari mereka, pasangan-pasangan itu keliatan bahagia…banget bareng pasangannya. Seketika itu juga gue jadi inget cerita temen-temen gue tentang pacar-pacarnya. Kayaknya mereka tuh bahagia banget gitu sama pasangannya masing-masing. Dari situlah muncul pertanyaan dalam benak gue. Apa Virgo juga sebahagia mereka waktu jalan sama gue? Apa Virgo sebahagia mereka waktu menyadari punya cewek kayak gue?”
Pio tak mengeluarkan sepatah kata pun, ia kelihatan sedang berpikir.
“Ra, gini ya…kita nggak bisa mengukur sejauh mana seseorang merasa bahagia. Lo bisa liat gue, setiap saat, setiap ketemu lo, gue selalu keliatan ceria ‘kan? Seolah nggak punya beban apa-apa, seolah gue adalah makhluk Tuhan yang paling bahagia di muka bumi ini. Tapi lo nggak pernah tau ‘kan apa yang sebenernya gue rasain, karena lo cuma liat gue dari luar. Lo nggak mampu selami dasar hati gue. Tempat di mana segala kecewa yang sebenarnya gue rasain gue pendam dalam-dalam. Senyum gue nggak selamanya jujur, Ra. Begitu juga dengan pasangan-pasangan bertampang bahagia yang lo liat. Bisa aja tawa yang mereka umbar itu tawa palsu. Bisa aja kemesraan yang mereka tunjukin ke orang-orang di sekitar mereka itu cuma sekedar buat pamer. Who knows sih, Ra?”
Syra sempet bengong denger kultumnya Pio. Gila nih anak, kadang bocornya dia bisa ditambal juga ya?
“Lo beneran Pio?” tanya Syra dengan wajah nggak percaya.
“Bukan, gue Mario Teguh versi ganteng,” jawab Pio sambil melototin Syra.
“Idih…najis tralala…!” ucap Syra dengan gaya khas yang teramat lebay.
“Eh, bisa terima statement gue nggak?”
“Mmm…lo ada benernya sih. Gue emang nggak bakal bisa tau, Virgo tuh bahagia ato nggak pacaran sama gue. Terus…gue harus gimana?”
“Tapi, Ra, gini ya, kalo lo pengen tau perasaan seseorang yang nggak pake bumbu bernama kebohongan, lo baca matanya,” kata Pio yakin.
“Membaca matanya?” dahi Syra berkerut tanda nggak ngerti.
“Iya, baca matanya. Kalo lo pengen tau perasaan Virgo yang sebenernya, belajarlah memberi arti dari setiap tatap matanya.”
“Iya, gue ngerti, mungkin gue harus belajar mengartikan tatapan Virgo. Entah itu ketika dia kecewa, marah, ataupun bahagia.”
“Nah, itu dia yang gue maksud.”
“Ok deh, thank’s for advice-nya, gue pergi dulu ya,” Syra bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana?”
“Belajar!” katanya sambil melangkah pergi.
“Belajar?” Pio keliatan bingung, ia menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal.
“Belajar membaca mata Virgo!” kata Syra sedikit teriak tanpa ngeliat Pio lagi.
Pio diam di tempatnya. Ia menatap kepergian Syra yang makin lama makin tak nampak. Sampai Syra hilang dari pandangannya.
“Mungkin lo juga harus banyak belajar mengartikan setiap tatapan gue, Ra. Biar lo tau, sedalam apa cinta ini gue pendam, ” ucap Pio pelan.
Label: ah, ga jelas